Di permukaan, keduanya memang sama-sama berisiko dan bisa memberikan keuntungan maupun kerugian. Namun, jika ditelaah lebih dalam, saham bukanlah judol, melainkan instrumen investasi yang memiliki dasar hukum, logika, dan perencanaan yang jelas.

Investasi saham bekerja berdasarkan analisis fundamental dan teknikal. Investor dapat menilai kesehatan perusahaan dari laporan keuangan, tren industri, hingga prospek masa depan. Selain itu, regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan transparansi dan perlindungan investor. Di sisi lain, judol tidak memiliki dasar analisis yang dapat diandalkan—hasilnya murni ditentukan oleh keberuntungan, tanpa bisa diprediksi secara rasional.

Meski begitu, persepsi bahwa saham mirip judol sering muncul karena sebagian orang memperlakukan saham sebagai ajang spekulasi ekstrem. Membeli dan menjual saham hanya berdasarkan rumor, emosi, atau tren sesaat bisa membuat aktivitas tersebut terasa seperti berjudi. Apalagi jika dilakukan tanpa perencanaan, tanpa tujuan investasi, dan hanya berharap “cuan cepat”. Dalam kondisi seperti itu, potensi kerugian akan sangat besar dan membuat orang keliru menyimpulkan bahwa saham sama seperti judol.

Penting untuk memahami bahwa alat sebaik apa pun bisa menjadi bumerang jika digunakan secara tidak benar. Saham bukanlah judol, tapi jika dimainkan tanpa pengetahuan dan strategi, efeknya bisa mirip: kehilangan uang, stres, dan kecanduan mengejar keuntungan cepat. Oleh karena itu, literasi finansial sangat dibutuhkan, khususnya bagi anak muda yang tertarik masuk ke dunia pasar modal.

Dengan pendekatan yang tepat, investasi saham bisa menjadi sarana membangun kekayaan secara bertahap dan berkelanjutan. Dibandingkan dengan judol yang ilegal dan merusak, saham adalah pilihan yang jauh lebih aman dan menjanjikan, selama digunakan dengan bijak. Maka dari itu, daripada mempertanyakan apakah saham itu judol, mimpi 44 lebih baik perkuat pemahaman agar tahu bagaimana membedakan keduanya secara objektif dan bertanggung jawab.